Blog Competition 2019 #2019GANTIBIMBEL

Kelas 11 - Pedagang, Penguasa dan Pujangga pada Masa Klasik (Hindu dan Buddha)

I. Perkembangan Hindu-Budha
A. Kelahiran Agama Hindu
Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan Hindu di India berkaitan dengan sistem kepercayaan bangsa Arya yang masuk ke India pada 1500 S.M. Kebudayaan Arya berkembang di Lembah Sungai Indus India. Bangsa Arya mengembangkan sistem kepercayaan dan sistem kemasyarakatan yang sesuai dengan tradisi yang dimilikinya yaitu penyembahan terhadap banyak dewa (Politheisme) yang dipimpin oleh golongan pendeta atau Brahmana. Golongan ini juga menulis ajaran mereka dalam kitab-kitab suci yang menjadi standar pelaksanaan upacara-upacara keagamaan. Kitab suci agama Hindu disebut Weda (Veda) yang berarti pengetahuan tentang agama. Weda terdiri dari 4 buah kitab, yaitu:
a. Rigweda
Rigweda adalah kitab yang berisi tentang ajaran-ajaran Hindu. Rigweda merupakan kitab yang tertua dan kemungkinan muncul pada waktu bangsa Arya masih berada di daerah Punjab.
b. Samaweda
Samaweda adalah kitab yang berisi nyanyian-nyanyian pujaan yang wajib dilakukan ketika upacara agama.
c. Yajurweda
Yajurweda adalah kitab yang berisi dosa-doa yang dibacakan ketika diselenggarakan upacara agama. Munculnya kitab ini diperkirakan ketika bangsa Arya mengusai daerah Gangga Tengah.
d. Atharwaweda
Atharwaweda adalah kitab yang berisi doa-doa untuk menyembuhkan penyakit, doa untuk memerangi raksasa. Doa-doa atau mantera pada kitab ini muncul setelah bangsa Arya berhasil menguasai daerah Gangga Hilir.
Ada tiga dewa utama dalam agama Hindu yang disebut Trimurti, yaitu : Dewa Brahma (dewa pencipta), Dewa Wisnu (dewa pelindung), dan Dewa Siwa (dewa perusak). Sistem kemasyarakatan yang dikembangkan oleh bangsa Arya adalah sistem kasta. Sistem ini membedakan masyarakat berdasarkan fungsinya. Golongan Brahmana (pendeta) menduduki golongan pertama. Ksatria (bangsawan, prajurit) menduduki golongan kedua. Waisya (pedagang dan petani) menduduki golongan ketiga, sedangkan Sudra (rakyat biasa) menduduki golongan keempat. Penggolongan seperti inilah yang disebut caturwarna.

B. Lahirnya Agama Budha
Agama Buddha lahir sekitar abad ke-5 S.M. Agama ini lahir sebagai reaksi terhadap agama Hindu terutama karena keberadaan kasta. Pembawa agama Buddha adalah Sidharta Gautama (563-486 S.M), seorang putra dari Raja Suddhodana dari Kerajaan Kosala di Kapilawastu. Untuk mencari pencerahan hidup, ia meninggalkan Istana dan menuju ke tengah hutan di Bodh Gaya. Ia bertapa di bawah pohon (semacam pohon beringin) dan akhirnya mendapatkan bodhi, yaitu semacam penerangan atau kesadaran yang sempurna. Pohon itu kemudian dikenal dengan pohon bodhi. Sejak saat itu, Sidharta Gautama dikenal sebagai Sang Buddha, artinya yang disinari. Peristiwa ini terjadi pada tahun 531 SM. Usia Sidharta waktu itu kurang lebih 35 tahun. Wejangan yang pertama disampaikan di Taman Rusa di Desa Sarnath.
Dalam ajaran Buddha manusia akan lahir berkali-kali (reinkarnasi). Hidup adalah sengsara, menderita, dan tidak menyenangkan. Menurut ajaran Buddha, hidup manusia adalah menderita, disebabkan karena adanya tresna atau cinta, yaitu cinta (hasrat/nafsu) akan kehidupan. Penderitaan dapat dihentikan, caranya adalah dengan menindas tresna melalui delapan jalan (astawida), yakni pemandangan (ajaran) yang benar, niat atau sikap yang benar, perkataan yang benar, tingkah laku yang benar, penghidupan (mata pencaharian) yang benar, usaha yang benar, perhatian yang benar, dan semadi yang benar.

C. Masuknya Pengaruh Hindu-Budha
Proses masuknya Hindu-Buddha atau sering disebut Hindunisasi di Kepulauan Indonesia ini masih ada berbagai pendapat. Beberapa pendapat (teori) tersebut dijelaskan pada uraian berikut.
Pertama, teori Ksatria. Dalam kaitan ini R.C. Majundar berpendapat, bahwa munculnya kerajaan atau pengaruh Hindu di Kepulauan Indonesia disebabkan oleh peranan kaum ksatria atau para prajurit India. Para prajurit diduga melarikan diri dari India dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Kepulauan Indonesia dan Asia Tenggara. Namun, teori Ksatria yang dikemukakan oleh R.C. Majundar ini kurang disertai dengan bukti-bukti yang mendukung. Selama ini belum ada ahli arkeolog yang dapat menemukan bukti-bukti yang menunjukan adanya ekspansi dari prajurit-prajurit India ke Kepulauan Indonesia. Kekuatan teori ini terletak pada semangat untuk petualangan para kaum ksatria.
Kedua, teori Waisya. Teori ini terkait dengan pendapat N.J. Krom yang mengatakan bahwa kelompok yang berperan dalam dalam penyebaran Hindu-Buddha di Asia Tenggara, termasuk Indonesia adalah kaum pedagang. Pada mulanya para pedagang India berlayar untuk berdagang. Pada saat itu jalur perdagangan melalui lautan yang tergantung dengan adanya musim angin yang menyebabkan mereka tergantung pada kondisi alam. Bila musim angin tidak memungkinkan maka mereka akan menetap lebih lama untuk menunggu musim baik. Para pedagang India pun melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi dan melalui perkawinan tersebut mereka mengembangkan kebudayaan India. Menurut G. Coedes, yang memotivasi para pedagang India untuk datang ke Asia Tenggara adalah keinginan untuk memperoleh barang tambang terutama emas dan hasil hutan.
Ketiga, teori Brahmana. Teori sesuai dengan pendapat  J.C. van Leur bahwa Hinduninasi di Indonesia disebabkan oleh peranan kaum Brahmana. Pendapat van Leur didasarkan atas temuan-temuan prasati yang menggunakan bahasa Sanskerta dan huruf pallawa. Bahasa dan huruf tersebut hanya dikuasai oleh kaum Brahmana. Selain itu adanya kepentingan dari para penguasa untuk mengundang para Brahmana India. Mereka diundang ke Asia Tenggara untuk keperluan upacara keagamaan. Seperti pelaksanaan upacara inisiasi yang dilakukan oleh para kepala suku agar mereka menjadi golongan ksatria. Pandangan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukan oleh Paul Wheatly bahwa para penguasa lokal di Asia Tenggara sangat berkepentingan dengan kebudayaan India guna mengangkat status sosial mereka.
Keempat, teori yang dinamakan teori Arus Balik. Teori ini lebih menekankan pada peranan bangsa Indonesia sendiri dalam proses penyebaran kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia. Artinya, orang-orang di Kepulauan Indonesia terutama para tokoh-tokohnya yang pergi ke india. Di India mereka belajar hal ihwal agama dan kebudayaan Hindu-Buddha. Setelah kembali ke Kepulauan Indonesia mereka mengajarkan dan menyebarkan ajaran agama itu kepada masyarakatnya. Pandangan ini dapat dikaitkan dengan pandangan F.D.K. Bosch yang menyatakan bahwa proses Indianisasi di Kepulauan Indonesia dilakukan oleh kelompok tertentu, mereka itu terdiri dari kaum terpelajar yang mempunyai semangat untuk menyebarkan Buddha. Kedatangan mereka disambut baik oleh tokoh masyarakat. Selanjutnya karena tertarik dengan ajaran Hindu-Buddha mereka pergi ke India untuk memperdalam ajaran itu. Berdasarkan teori-teori yang dikemukan di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa masyarakat di Kepulauan Indonesia telah mencapai tingkatan tertentu sebelum munculnya kerajaan yang bersifat Hindu-Buddha. Melalui proses akulturisasi, budaya yang dianggap sesuai dengan karateristik masyarakat pada saat itu diterima dengan menyesuaikan pada budaya masyarakat setempat saat itu.
Beberapa bukti-bukti arkeologis menunjukkan perkembangan masuknya agama Hindu-Buddha di Kepulauan Indonesia. Pengaruh Hindu ditemukan berasal pada abad ke-4 - ke-5 masehi. Prasasti yang ditemukan di Kutai dan Tarumanagara yang menyebutkan sapi sebagai hewan persembahan menunjukkan bahwa agama Hindu berkembang di daerah itu. Juga adanya penyebutan Dewa Trimurti yaitu, Brahma, Wisnu, dan Siwa.

II. Kerajaan-Kerajaan pada masa Hindu-Budha
A. Kerajaan Kutai
Kerajaan kutai merupakan kerajaan Hindu-Budha yang pertama di Indonesia. Diperkirakan terletak di daerah Muarakaman di tepi sungai Mahakam, Kalimantan Timur. Sungai Mahakam dapat dilayari dari pantai sampai masuk ke Muarakaman, sehingga tempat ini menjadi tempat yang strategis untuk meningkatkan perekonomian Masyarakat.
Sumber sejarah dari kerajaan Kutai yang utama adalah ditemukannya prasasti yang disebut Yupa. Yupa ini dikeluarkan pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Prasasti ini ditulis dengan huruf Pallawa dan bahasa Sanskerta. Para ahli mberpendapat bahwa prasasti ini dibuat sekitar abad ke-5 M.
Masa keemasan Kerajaan Kutai terjadi pada masa pemerintahan Raja Mulawarman. Kehidupan ekonomi mengalami perkembangan. Banyak masyarakat Kutai yang bekerja sebagai petani dan pedagang, bahkan diperkirakan sudah menjalin hubungan dengan luar. Jalur perdagangan Internasional dari India melewati Selat Makassar, terus ke Filipina dan sampai di Cina. Dalam pelayarannya, dimungkinkan para pedagang itu singgah terlebih dahulu di Kutai. Dengan demikian, Kutai semakin ramai dan rakyat hidup makmur.

B. Kerajaan Tarumanegara
Setelah kerajaan Kutai berkembang di daerah Kalimantan Timur, di Jawa bagian Barat telah muncul Kerajaan Tarumanegara. Kerajaan ini terletak tak jauh dari pantai utara Jawa bagian Barat. Berdasarkan prasasti-prasasti yang ditemukan, letak pusat Kerajaan Tarumanegara diperkirakan diantara sungai Citarum dan Cisadane. Purbacaraka memperkirakan pusatnya bberadada di daerah Bekasi.
Sumber sejarah Tarumanegara yang utama adalah berdasarkan beberapa prasasti yang ditemukan. Berkaitan dengan perkembangan Tarumanegara telah ditemukan 7 buah prasasti. Prasasti-prasasti tersebut berhuruf pallawa dan berbahasa sansekerta. Ketujuh prasasti tersebut adalah :
a. Prasasti Ciareteun
Ditemukan di tepi sungai Citarum di daerah Bogor
b. Prasasti Kebon Kopi
Ditemukan di Kampung Muara Hilir, kecamatan Cibungbulang, Bogor.
c. Prasasti Jambu
Ditemukan di perkebunan Jambu, bukit Koelangkok, kira-kira 30 km sebelah barat Bogor
d. Prasasti Tugu
Ditemukan di Desa Tugu, Cilincing Jakarta
e. Prasasti Pasir Awi
Ditemukan di daerah Bogor
f. Prasasti Muara Cianten
Ditemukan di daerah Bogor
g. Prassasti Lebak
Ditemukan di tepi Sungai Cidanghiang, Kecamatan Muncul, Banten Selatan.
Di samping itu, beberapa cerita dari Cina juga dapat dijadikan sebagai sumber sejarah Kerajaan Tarumanegara. Terutama berita yang disampaikan oleh Fa-Hien yang berkunjung ke Jawa. Ia telah menyebutkan tentang keberadaan To-lo-mo atau Taruma
Kerajaan Tarumanegara mulai berkembang pada abad ke-5 M. Raja yang terkenal adalah Purnawarman. Dikenal dengan raja yang pemberani dan tegas. Dekat dengan para Brahmana, Pangeran, dan Rakyat. Ia adalah Raja yang Jujur, adil, dan arif dalam memerintah rakyatnya. Daerahnya cukup luas dan telah menjalin hhubungan dengan kerajaan lain.

C. Kerajaan Kalingga
Kerajaan Kalingga di sebut juga dengan kerajaan Holing, diperkirakan terletak di Jawa bagian Tengah. Nama Kalingga diambil dari Kalinga, sebuah kerajaan di India Selatan. Menurut cerita Cina, di sebelah Timur Kalingga terdapat Po-li (Bali), sebelah Barat terdapat To-Po-Teng (Sumatra), dan di sebelah utara terdapat Chen-la (Kamboja), sedanngkan di daerah selatan berbatasan dengan Samudera. Oleh karena itu, Kalingga diperkirakan terletak di Jawa Tengah, Kecamatan Keling, sebelah utara Gunung Muria.
Sumber utama mengenai kerajaan ini adalah berita Cina, misalnya berita dari Dinasti Tang. Sumberlain adalah Prasasti Tuk Mas di lereng Gunung Merbabu. Kerajaan Kalingga kira-kira berkembang pada abad ke-7 – ke-9 M.
Raja yang paling terkenal adalah seorang raja wanita yang bernama Ratu Sima. Memerintah sekitar tahun 674 M. dikenal sebagai raja yang tegas, jujur, adil, dan Bijaksana. Agama utama yang dianut adalah Budha. Kepemimpinan raja yang adil menjadikan rakyat hidup dengan tenang, tenteram, dan aman. Mata pencaharian utama penduduknya adalah Petani, disamping itu juga ada yanng melakukan perdagangan.
Kerajaan ini mengalami kemunduran kemungkinan akibat serangan Sriwijaya yang menguasai perdagangan. Serangan tersebut mengakibatkan pemerintahan Kijen menyingkir ke Jawa bagian Timur atau mundur ke Pedalaman Jawa bagian Tengah. Terjadi antara tahun 742-755 M.

D. Kerajaan Sriwijaya
Sejak permulaan tahun Masehi, hubungan dagang antara India dengan Kepulauan Indonesia sudah ramai. Daerah pantai Timur Sumatra menjadi jalur perdagangan yang ramai. Pusat-pusat perdagangan pun lama kelamaan berkembang menjadi kerajaan. Kerajaan-kerajaan itu adalah Tulangbawang, Melayu, dan Sriwijaya. Dari ketiga kerajaan tersebut, Sriwijayalah yang berhasil berkembang pesat dan mencapai kejayaannya.
Pada tahun 692 M, sriwijaya mengaakan ekspansi ke daerah sekitar Melayu. Melayu dapat di taklukan dan berada di bawah kekuasaan Sriwijaya. Ada berbagai pendapat tentang  letak pusat kerajaan ini, ada yang berpendapat di Palembang, Jambi, bahkan ada yang berpendapat di luar Indonesia. Akan tetapi, pendapat yang paling masyhur, pusat kerajaan Sriwijaya berada di Palembang, akan tetapi setelah mengalami Sriwijaya memindah pusat kerajaannya di Jambi.
Sumber sejarah kerajaan ini adalah prasasti. Prasasti-prasasti itu ditulis dengan huruf Pallawa Dan menggunakan bahasa Melayu Kuno. Beberapa prasasti itu adalah :
1. Prasasti Kedukan Bukit
Prasasti ini ditemukan di tepi sungai Tatang, dekat Palembang. Berangka taun 605 Saka (683 M).
2. Prasasti Talang Tuwo
Prasasti Talang Tuwo ditemukan di sebelah barat Kota Palemabang di daerah Talang Tuwo. Berangka tahun 606 Saka (684 M).
3. Prasasti Telaga Batu
Prasasti ini ditemukan di Palembang. prasasti ini Tidak memiliki rangka tahun.
Raja yang terkenal adalah Balaputradewa. Ia memerintah sekitar abad ke-9 M. raja Balaputradewa menjalin hubungan yang erat ddengan raja Benggala pada saat itu, yakni Raja Dawapaladewa. Raja ini emberikan Balaputradewa sebuah tanah untuk pendirian asrama bagi para pelajar dan mahapeserta didik yang belajar di Nalanda, yang dibiayai ole Balaputradewa, sebagai “Dharma”.

E. Kerajaan Mataram Kuno
Kerajaan ini berdiri padda abad ke-8 M di Jawa bagian tengah. Letak pusat kerajaan ini masih belum dapat dipastikan, ada yang mengatakan di Medang, dan ada juga yang mengatakan di Poh Pitu. Sementara itu, leetak Poh Pitu masih belum jelas sampai sekarang. Diperkirakan bahwa kerajaan Mataram kuno berdiri di sekitar pegunnungan dan sungai-sungai.
Raja yang terkenal adalah Raja Sanjaya yang memerintah pada tahun 717 – 780 M. ia melanjutkan kekuasaan Sanna. Sanjaya berhasil menaklukan raja-raja kecil yang memisahkan diri dari pemerintahan Sanna. Raja Sanjaya memerintah ddengan Adil, dan arif dalam memerintah. Para pujangga dan rakyat menghormatinya, sehingga keadaan rakyatnya menjadi aman dan tentram.